01 May 2009

Rumah Kakek

waktu itu aku berumur empat atau lima tahun. aku, adik, ayah, dan ibu masih menumpang tinggal dirumah kakek. rumah kami masih dalam tahap pembangunan dan hanya beberapa blok dari rumah kakek.

setiap hari sepulang sekolah, aku bermain-main di taman depan rumah kakek, dan biasanya aku mengajak adikku yang masih berumur tiga untuk ikut bermain bersamaku. bila tingkat kenakalan kami sudah tinggi, biasanya kami akan memanjat pohon jambu yang tingginya bukan main. dan saat itulah kakek keluar dari rumah membawa sapu lidi, menyuruh kami turun sambil berteriak. nenek dan ibu sudah biasa mendengar kakek meneriaki aku maupun adikku, memang seingatku, aku bukanlah anak yang baik saat berumur segitu.

saat sore biasanya kakek akan menyapu halaman, karena halaman rumah kakek memang luas dan ditanami banyak tumbuh-tumbuhan. dia mengumpulkan daun dan ranting yang berjatuhan, lalu membakarnya saat malam. aku dan adikku menamakan 'permainan bakar-bakaran' bila kakek mengajak kami menonton pembakaran daun dan ranting. kami bertiga tertawa bersama malam itu, kakek memang aneh. tadi siang dia siap memukul kami dengan sapu lidi, tapi di malam hari dia penuh kasih sayang menyuruh kami untuk tidak terlalu dekat dengan api.

kenakalan lain yang paling aku ingat adalah mencoret-coret dinding. biasanya sepulang sekolah, saat kakek sedang tidur siang. aku dan adikku akan menggambar gunung, ikan, sawah, matahari, kupu-kupu, bola, dan lain-lain ditembok ruang tamu. dan saat kakek terbangun, melihat hasil karya aku dan adikku, dia marah, dan memukul kami dengan penggebuk kasur, biasanya aku dan adikku akan lari-lari sambil menangis mencari nenek atau ibu untuk berlindung. dan saat hari sudah sore, kakek membelikan kami es krim walls yang lewat didepan rumah. aku dan adikku tidak takut lagi dengan kakek, kami bertiga makan es krim di teras rumah. setelah es krim kakek habis, dia ke taman dan mulai menyapu halaman untuk persiapan 'permainan bakar-bakaran' nanti malam.

kakek juga pernah mengunci aku dan adikku dikamar mandi, lalu dia mematikan lampunya. itu gara-gara kami menyumbat saluran air dengan baju kami dan mulai menghidupkan keran sampai penuh lalu air didalam bak tumpah. aku dan adikku menamakan ini sebagai 'permainan banjir-banjiran', dan kakek marah karena air bukan saja membanjari kamar mandi, tapi kedapur dan ruangan yang lain. makanya dia menginginkan kami untuk menyelesaikan mandi, lalu pergi mengaji.

waktu itu aku sudah berumur tujuh atau delapan. aku sudah tidak mencoret dinding ruang tamu rumah kakek lagi, memanjat pohon jambu, atau menyumbat saluran air. lagipula aku sudah tidak tinggal disana. tapi rumahku hanya beberapa blok dari rumah kakek, dan setiap habis mengaji di TPA aku akan bermain dirumah kakek. kakek tetap suka mengadakan 'permainan bakar-bakaran', kali ini kakek mengizinkan aku yang menyalakan korek api nya, meskipun dari dulu aku memintanya untuk mengizinkan menyiram daun dan ranting dengan minyak tanah. tapi bukan masalah, setidaknya aku yang memegang korek api. adikku saat itu benar-benar cemburu, tapi kakek bilang, dia akan dapat giliran menyalakan api nanti.

hari Sabtu, aku dan adikku suka menginap dirumah kakek. biasanya kakek selalu mengadakan kontes 'siapa yang bangun paling pagi' kepada kami bila kami menginap disana, hadiahnya adalah roti coklat yang selalu lewat didepan rumah kakek. aku hampir tidak pernah menang, adikku selalu lebih dulu bangun karena dia (selalu) mengompol di kasur dan terbangun tepat dipukul enam. aku harus puas melihat dia memakan roti coklat saat menonton doraemon.

kakek menghadiahi kami berdua sepeda. untukku adalah sepeda roda dua berwarna biru, sedangkan adikku sepeda roda dua dengan dua penyangga dibelakang berwarna merah. curang sebenarnya, karena adikku dengan mudah mengendarai sepedanya. rodanya ada empat, sedangkan aku ? aku tidak bisa mengatur keseimbanganku. tapi setiap sore setelah mengaji, kakek mengajariku dengan sabar. dia bilang kalau belum jatuh tiga kali, maka aku tidak akan pernah bisa naik sepeda. dan ternyata kakek benar, setelah jatuh untuk yang ketiga kalinya, aku bisa mengendarai sepeda roda dua. setelah itu kemana-mana aku dengan bangga menggunakan sepeda roda dua pemberian kakek.

saat umurku telah berubah menjadi sembilan. kakek mengalami sakit gula, diabetes nama ilmiahnya. atau kata adikku 'penyakit gula-gula' karena kakek kebanyakan makan gula dan permen. lalu tidak lama kemudian, kakek stroek, badannya tidak bisa digerakkan lagi. dia hanya berbaring dikamar. ayah, ibu, nenek, om, dan tante sudah menempuh berbagai cara pengobatan. tapi kata mereka kakek tidak mengalami kemajuan. akhirnya dia benar-benar hanya tidur dikamarnya, setiap dia ingin makan atau membung air, dia akan membunyikan bel yang ada ditangannya.

umurku tujuh belas tahun saat aku mengunjungi Ka'bah. aku hanya berdua ayah waktu itu, sedangkan ibu dan adikku tinggal dirumah. aku masih ingat waktu ayah membacakan do'a untuk kakek, bukan untuk kesembuhannya, tapi untuk kematiannya. kakek sudah tidak pernah bergerak sejak delapan tahun lalu, ayah menangis dan berkata akan mengikhlaskan kakek bila Dia memang mau mengambilnya, kakek sudah begitu menderita dengan penyakitnya.

hari ini aku berumur sembilan belas tahun. adikku mengirimkan pesan singkat yang berbunyi 'Kak, Kakek meninggal !' dan aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. aku langsung menelpon adikku, dan dia sedang menangis. rumahku masih rumah yang sama, rumah yang hanya beberapa blok dari rumah kakek. adikku sedang disana bersama ayah dan ibu serta tante dan om untuk menemani nenek.

"Gwe ke rumah kakek sekarang, gwe naik Bis jam delapan !"

dan itu adalah pertama kalinya dalam hidupku, aku menyebut rumah hijau itu sebagai rumah kakek. karena selama ini, aku dan adikku selalu berteriak : "Ibu, aku sama adik mau ke rumah nenek dulu yah !"

-----

PS : mengenang si Kakek, Nasrun Nazir Saman
14 September 1939 - 30 April 2009

No comments:

Post a Comment